Bekasi – Dengan alasan tidak tahu manfaatnya, sejumlah buruh enggan untuk berserikat. Ada buruh yang benar-benar tidak mengetahui manfaat serikat karena baru memasuki dunia kerja sehingga sosialisasi dari pengurus serikat sangat dibutuhkan.
![]() |
Buruh mengikuti pendidikan Ekonomi Politik (foto: Danial Indrakusuma) |
“Jarang ada buruh yang datang langsung ke sekretariat untuk menyatakan ia bergabung dengan serikat. Keaktifan pengurus atau perwakilannya untuk mengajak, mengenalkan serta menjelaskan manfaat berserikat kepada buruh menjadi faktor penting dalam menyadarkan buruh,” tutur salah seorang buruh yang bekerja di Kawasan Industri EJIP, Kris.
Di PT Enkei misalnya, buruh mengaku di perusahaan tersebut ada serikat tetapi pengurusnya tidak pernah melakukan sosialisasi sehingga ada beberapa buruh yang tidak tahu menahu mengenai manfaat berserikat.
“Saya tidak tahu manfaatnya serikat itu apa? Di tempat saya bekerja memang ada serikat tetapi pengurusnya tidak pernah memberitahu kami yang masih awam. Kami tidak diajak berserikat,” ujar salah seorang buruh yang enggan disebutkan namanya
Kondisi yang sama terjadi di Kawasan Industri MM 2100. “Saya sudah bekerja satu tahun lebih tetapi tidak paham apa manfaatnya. Tidak ada sosialisasi dari pengurus serikat,” kata buruh lainnya.
Minimnya pemahaman buruh terhadap manfaat berserikat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kurangnya sosialisasi dari serikat, terkadang ada juga buruh yang kurang bersosialisasi karena jam kerja yang panjang. Buruh lebih banyak menggunakan waktunya untuk bekerja dan lembur untuk menambah pendapatan.
Ada yang sudah diberitahu soal serikat tetapi tidak peduli. Ketika diberi selebaran justru dibuang dan ada yang menggunakannya sebagai alas saat duduk.
Salah seorang pengurus serikat buruh di Kabupaten Bekasi mengaku, pernah memergoki buruh yang menerima selebaran tetapi dibuang secara diam-diam.
“Saya mendapati buruh yang ketakutan saat diberi selebaran, mereka tidak mau menerima. Ada juga yang menerima tetapi selebaran itu dibuang karena mereka pikir saya tidak melihatnya,” tuturnya kepada Solidaritas.net, Senin (6/2/2017)
Selain itu, ada pula buruh-buruh yang tidak tahu manfaat berserikat karena memang tidak ingin mengetahuinya. Menurut mereka, untuk memperjuangkan hak-haknya sudah cukup diwakili oleh pengurus dan anggota serikat.
Aktivis buruh biasanya menyebut orang-orang semacam itu sebagai penitip nasib yang hanya mau terima beres tanpa melibatkan dirinya dalam berjuang. Tidak mau mengambil risiko apabila bertentangan dengan pengusaha maupun pemerintah, mereka hanya mau menikmati hasil yang positif.
Meskipun demikian, itu bukan kesalahan buruh sepenuhnya karena selama ini mental mereka sudah dilatih seperti itu. Ditambah lagi dengan keberadaan serikat yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik sehingga minat buruh untuk memahami serikat itu menurun apalagi untuk bergabung, mereka harus berpikir dua kali.
Selama ini banyak buruh yang berserikat tetapi tidak mengetahui hak-haknya karena pengurus serikat tidak mengadakan pendidikan. Buruh merasa rugi dan percuma, mereka hanya membayar iuran tetapi tidak mengalami kemajuan kualitas.
Akhirnya buruh memutuskan tidak peduli pada serikat. Mereka memilih fokus bekerja karena dengan begitu risiko berkonflik dengan pengusaha dan pemerintah bisa diminimalisir. Sebagian besar buruh menghindari berkonflik dengan pengusaha dan pemerintah karena tidak mau kehilangan pekerjaan.
Apalagi jika umur mereka sudah di atas 25 tahun, mereka merasa lebih baik “manut” daripada harus kehilangan pekerjaan. Pasalnya, perusahaan tidak mau menerima pencari kerja yang berumur di atas 23 tahun.