Tanah Dirampas, Petani Sumut Datangi Jakarta

0

Solidaritas.net, Jakarta – Kelompok Tani Menggugat (KTM) dan Komite Rovolusi Agraria (KRA) adalah individu-individu petani yang memiliki tujuan yang sama dalam melawan perampasan tanah. Selama ini, pemerintah kerap mengklaim hak atas tanah rakyat, yang kemudian menyerahkannya kepada perusahaan negara maupun swasta.

johan merdeka koordinator KRA
Koordinator KRA, Johan Merdeka. © Solidaritas.net/Moharam Yamlean.

41 petani yang tergabung dalam dua komite tersebut berjuang dari Sumatera Utara mendatangi Ibukota Jakarta dengan membawa persoalaan konflik agraria di daerah mereka agar bisa diselesaikan oleh Pemerintah Pusat, yakni Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla

Masalah pertanahan, khususnya perkebunan, mencatat sejarah yang cukup panjang. Paling tidak terbentang sejak abad 19, yakni ketika mulai tumbuhnya perkebunan-perkebunan swasta Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memberikan izin menyewa tanah untuk perkebunan yang disebut erpacht. Setelah Indonesia merdeka, konsep erpacht ini dikembangkan menjadi Hak Guna Usaha (HGU).

“Untuk mempermudah proses penguasaan atas tanah, salah satunya adalah melalui kerjasama dengan penguasa setempat. Catatan sejarah ini kemudian diteruskan oleh rezim Suharto yang berhasil memimpin negeri ini yang disokong oleh dukungan dari kekuatan ekonomi internasional. Berlangsungnya proses modernisasi serta ramainya kegiatan pembangunan yang diselenggarakan oleh negara secara perlahan dan pasti mulai mengancam keberadaan tanah untuk rakyat. Padahal, pada awal kemerdekaan, tanah seharusnya di-landreform (dibagi-bagikan) kepada petani dan rakyat sesuai dengan kebijakan Pemerintahan Sukarno di dalam UU Pokok Agraria. Kini, tanah banyak dikuasai oleh investor, yang ini secara nyata didukung oleh negara, kata Koordinator KRA, Johan Merdeka kepada Solidaritas.net, Rabu (19/11/2014).

Menurut Johan, konflik agraria di Sumatera Utara merupakan bagian dari konflik agraria yang secara umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Banyak investor yang tertarik menanamkan modalnya di Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan dan pertambangan, dengan cara apapun, bahkan dengan menggusur tanah rakyat.

“Konflik agraria di Sumatera Utara terjadi di berbagai kabupaten seperti di Labuhan Batu, Padang Lawas, Deli Serdang, Tebing Tinggi/Serdang Bedagai, Binjai, Langkat, Siantar Simalungun, dan Asahan. Perampasan tanah rakyat di Sumatera Utara bukan hanya terjadi sekarang tetapi sejak jaman Orde Baru hingga massa Jokowi yang hingga saat ini dan belum bisa di selesaikan,” ujar Johan.

Konflik tanah ini bukan saja terjadi antara rakyat dan perusahaan swasta, tetapi juga konflik dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Pemerintah justru memberikan keleluasaan kepada perusahaan negara maupun swasta untuk berinvestasi dengan melanggar Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

“Kasus perampasan tanah akan semakin masif dengan adanya program baru, yakni Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menitikberatkan investasi pada wilayah Indonesia Timur dan Sumatera,” ungkapnya.

Pihaknya mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menyelesaikan masalah perampasan tanah di Sumatera Utara dengan cara mengembalikan hak-hak rakyat atas tanah.

“Namun jika masalah ini tidak bisa diselesaikan, maka para petani ini siap bertahan di Jakarta,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *