Tangani Konflik Lahan, Represi dan Kriminalisasi Warnai Aksi Aparat

konflik lahan perkebunan sawit
Perkebunan sawit, salah satu penyebab konflik lahan (foto ilustrasi). Kredit: Wikipedia.org.

Solidaritas.net, Balikpapan – Represi dan kriminalisasi masih saja mewarnai tindakan aparat kepolisian dalam penanganan konflik lahan. Hal ini diungkapkan oleh Yayasan Pusaka Jakarta dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Selasa(8/12/2015).

“Bisa jadi setiap minggu terjadi penganiayaan dan kekerasan,” kata Arkilaus dari Yayasan Pusaka Jakarta dikutip dari Kompas.com.

Hal ini mengakibatkan dusun-dusun penghasil pertanian seperti sagu dan hutan tempat hidup warga habis. Masyarakat lokal tak memiliki tempat mengais rezeki. Papua Selatan hingga Barat paling banyak mengalami hal ini.

Dikatakan, di Papua penganiayaan masih terbilag ringan, baru dikatakan berat bila warga mengalami ancaman hingga kematian. Ancaman kematian itu biasanya sistematis dan direkayasa, ketika aparat datang maka terjadilah penembakan. Namun, kematian warga di Papua seolah-olah karena operasi OPM. Menurutnya, inilah salah satu hal yang menyebabkan adanya kebencian warga Papua terhadap aparat.

Penyelesaian konflik lahan tidak hanya terjadi di Papua. Direktur Walhi daerah Sulawesi Tengah, Ahmad Pelor mengungkapkan hal serupa. Ia memaparkan, Di Sulawesi Tengah (Sulteng), selama lima tahun terakhir, lebih dari 30 orang dikriminalisasi dengan modus mulai dari masuk ke pengadilan hingga cuma ditakut-takuti dalam bentuk surat panggilan.

“Konfliknya banyak. Pernah di perusahaan Kurnia Lub Sejati, 24 orang, dikriminalisasi dalam kasus ini. Praktik seperti ini terus berlanjut. Morowali saja, kejadian masyarakat lawan perusahaan 10 kali terjadi dalam setahun,” kata Pelor.

Kalimantan Selatan (Kalsel) juga mengalami hal serupa. Walhi Kalsel mendampingi enam kasus konflik sejak 2008, dengan luas lahan konflik 72.000 ha dan melibatkan 2.000 kepala rumah tangga di empat kabupaten.

“Tidak ada kasus selesai. Upaya pendampingan ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, sampai bertemu setingkat Dirjen tidak selesai juga. Enam saja tidak selesai, apalagi konflik yang dicatat dari Kesbangpol Kalsel , yaitu 378 konflik lahan terjadi di Kalsel,” kata Dwitho Frasetiandy.

Tinggalkan Balasan