Tax Amnesty Tak Adil bagi Buruh

Program pengampunan pajak atau tax amnesty yang dilaksanakan pemerintah dinilai tidak adil bagi buruh. Buruh dan pengusaha adalah sesama wajib pajak, namun keduanya mendapatkan perlakuan yang berbeda. Buruh kesulitan menaikkan upahnya, sedangkan pengusaha mendapatkan berbagai insentif, salahnya satunya pengampunan pajak.

Buruh tolak tax amnesty. Sumber: Kabarkan (fair use)

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2016, Pengampunan Pajak (tax amnesty), didefinisikan sebagai penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1).

Pemerintah mengenakan tarif tebusan sebesar 2 persen untuk harta dalam negeri yang dideklarasikan pada periode pertama (Juli-September 2016), 3 persen pada periode kedua (Oktober-Desember 2016) dan 5 persen pada periode ketiga (Januari-Maret 2017). Untuk harta di luar negeri, dikenakan masing-masing 4 persen pada periode pertama, 6 persen pada periode kedua dan 10 persen pada periode ketiga.

Setelah diberlakukan hasilnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan penerimaan uang tebusan mencapai Rp97,2 triliun, deklarasi harta sebesar Rp4.500 triliun dan dana repatriasi (yang kembali ke dalam negeri) mencapai Rp137 triliun.

Total peserta sebanyak 367.464 wajib pajak yang terdiri dari 236.934 non UMKM dan 54.319 UMKM. Di antaranya terdapat konglomerat seperti Tommy Soeharto, pemilik grup Lippo James Riady, pemilik grup Gemala Sofyan Wanadi, Sandiago Uno, pengacara Hotman Paris Hutapea dan pemilik Maspion Group Alim Markus.

Tak salah jika kemudian buruh menolak program tax amnesty yang digulirkan pemerintah, lewat aksi demonstrasi. Meski ada penolakan lewat aksi demonstrasi pemerintah tetap melanjutkan kebijakan tax amnesty.

Alasan buruh menolak tax amnesty sebagaimana disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam Liputan6.com, karena buruh sebagai pihak yang taat membayar pajak justru diberikan upah murah, sedangkan para pengemplang pajak malah diampuni dan dianggap pahlawan negara.

Selain itu, adanya tax amnesty memberikan peluang bagi para pengemplang dan koruptor karena pemerintah tak mengusut asal-muasal harta yang dideklarasikan. Bahkan, seperti dilansir dari Bisnis.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendukung tax amnesty menegaskan tak akan mengusut harta peserta tax amnesty.

Dalam asal 3 UU Pengampunan Pajak jelas-jelas mengizinkan setiap wajib pajak untuk mengikuti tax amnesty dengan hanya dikecualikan bagi wajib pajak yang sedang dalam kasus berkas perkaranya sudah lengkap, dalam proses peradilan dan menjalani hukuman pidana.


Memperjuangkan Kelas Menengah

Selain program tak amnesty kebijakan di bidang perpajakan lainnya tidak berpihak pada buruh. Pemerintah saat ini juga menerapkan kebijakan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang dinaikkan batasnya dari Rp3 juta menjadi Rp4,5 juta per bulan.

Seseorang dianggap harus membayar pajak apabila telah mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Pajak penghasilan diambil dari buruh yang berpenghasilan lebih dari Rp4,5 juta per bulan. Padahal, sebagian besar buruh industri yang mampu mencapai upah sebesar itu adalah buruh yang mengambil banyak lembur.

Itu artinya, buruh mengorbankan waktu luang yang tinggi untuk mendapatkan upah yang lebih besar. Tentu saja biaya sosialnya juga besar. Kehilangan waktu luang, berarti kurang sosialisasi, kehilangan waktu bersama keluarga dan risiko membahayakan kesehatan.

Jenis buruh lainnya yang berpenghasilan besar, adalah buruh kerah putih atau karyawan yang memiliki jabatan di perusahaan. Golongan yang berpenghasilan cukup besar ini digolongkan sebagai kelas menengah. Merekalah yang menjadi pembayar pajak penghasilan.

Sebenarnya, buruh yang menolak tax amnesty sedang memperjuangkan kepentingan mereka juga. Namun, ironisnya, caci maki terhadap demo buruh yang menuntut kenaikan upah justru kerap datang dari golongan ini.

Membangun Solidaritas


Berkaca pada kasus di atas, kebijakan tax amnesty justru mengekspos ketimpangan sosial yang semakin menajam di dalam masyarakat. Hal ini bukan perkara upah buruh murah, sedangkan pemerintah hanya membela pengusaha belaka. Ada masalah kesenjangan sosial yang semakin parah di Indonesia, pemberantasan korupsi yang semakin jauh dari harapan dan kekuasaan politik yang digunakan untuk melayani orang-orang kaya.

Gerakan buruh tidak cukup lagi hanya memperjuangkan kepentingan tuntutan yang berkaitan dengan kenaikan upah saja, meskipun itu perlu. Di dalam massa buruh sendiri, terdapat lapisan kelompok buruh yang mengalami penindasan yang lebih parah di bawah kondisi kerja fleksibel, misalnya buruh kontrak dan outsourcing. Di luar kelompok buruh, masalah lebih beragam lagi, dari soal perampasan tanah sampai orang miskin ditolak di rumah sakit.

Solidaritas yang lebih dalam harus dibangun dengan menyasar kelompok-kelompok lain yang kurang beruntung. Dari solidaritas energi perlawanan bisa dibangun lebih besar untuk meningkatkan dukungan kepada gerakan buruh itu sendiri dan memperkuat gerakan sektor lain, menyatu ke dalam apa yang disebut sebagai gerakan rakyat. Yang terpenting juga adalah, gerakan buruh harus maju secara independen, terlepas dari pengaruh elit dan partai politik.

Subordinasi (penaklukan) elit politik terhadap gerakan buruh hanya menghasilkan inkonsistensi yang memperlihatkan ketidaksungguhan gerakan buruh itu sendiri. Sebagai contoh, ada seorang buruh yang aktif mengampanyekan tolak tax amnesty, tapi di sisi lain dengan bangga mendukung Sandiago Uno dari Partai Gerindra dan justru adalah peserta tax amnesty. Kedekatan pimpinan serikat buruh, termasuk Said Iqbal, dengan elit politik Gerindra telah berlangsung sejak Pemilu dan Pilpres 2014 sehingga aksi-aksi buruh kerap dicurigai ditunggangi oleh kepentingan parpol.

Tinggalkan Balasan