Terhadap Pengusaha yang Langgar Aturan THR, Sikap Menaker Masih Lembek

0

Solidaritas.net – Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mengumumkan sebanyak 51 perusahaan melanggar ketentuan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Kami yakin ada lebih banyak lagi yang melanggar, kami sendiri menemukan ratusan buruh perempuan PT Tristar Garment hanya dibayar sebesar Rp 380 ribu untuk THR. (Baca: [Foto] THR Tidak Dibayar, Buruh Perempuan Mogok))

Foto ilustrasi (kredit bisnis.liputan6.com)
Foto ilustrasi (kredit bisnis.liputan6.com)

Terhadap temuan 51 kasus itu, Menakertrans Hanif Dhakiri berencana akan menjatuhkan dua sanksi kepada para pengusaha, yakni sanksi administratif dan sanksi sosial.

Yang didefinisikan dengan sanksi sosial adalah pihaknya akan mengumumkan nama-nama perusahaan yang melanggar pembayaran THR. Sementara, untuk sanksi administratif, Hanif akan menyurati sejumlah instansi terkait untuk meminta agar perusahaan-perusahaan nakal itu diberikan penundaan pelayanan.

Mendengar kabar ini dapat menimbulkan rasa syukur di hati kita semua. Tapi bagi yang mengetahui bagaimana seluk-beluk pelanggaran aturan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh selama ini, tidak akan berpikir demikian.

Pertama, sanksi bagi pengusaha pengusaha yang tidak membayarkan THR seharusnya adalah pidana. Hal ini sesuai dengan pasal 8 Pemernakertrans No. Per-04/MEN/1994. Dalam pasal 4 ayat 2 UU No. 14/1969 tentang ketentuan pokok ketenagakerjaan disebutkan bahwa pimpinan perusahaan bisa dijatuhi hukuman pidana berupa kurungan dan denda. Jadi, seharusnya sanksi pidana ini disertakan untuk menindak para pengusaha yang melanggar pembayaran THR.

Kedua, sanksi sosial dan administratif tidak cukup. Publik kita (terutama kelas menengahnya) bukan lah publik yang kritis terhadap masalah yang menimpa buruh, kecuali menyangkut dana JHT yang tidak bisa ambil atau kalau kasus THR ini dianggap penghinaan terhadap agama–tapi tentu tak mungkin, sebab pengusaha itu dilindungi oleh jajaran HRD yang agamanya sama dengan buruh.

Demo-demo buruh sering dicemoh oleh kelas menengah tanpa meneliti pelanggaran yang diderita oleh buruh. Berbeda dengan publik di Barat yang relatif lebih sensitif terhadap produk yang mereka pakai harus lah diproduksi oleh buruh yang hidup secara layak (bukan buruh anak, buruh kerja paksa, bukan buruh kontrak, dll).

Soal sanksi administratif, tidak perlu dijelaskan seperti mental para pejabat kita terhadap pengusaha yang kita sama-sama tahu. Mereka sangat ramah pada pengusaha.

Ketiga, pada akhirnya buruh tidak dilindungi. Pelanggaran terhadap aturan ketenagakerjaan marak di berbagai perusahaan. Tak heran jika, Catahu LBH tahun 2014 memuat buruh sebagai pencari keadilan terbanyak dengan 26 ribu kasus, terutama kasus status kerja. Memang, yang paling sering dilanggar oleh pengusaha adalah penempatan buruh outsourcing dan buruh kontrak di bagian-bagian inti produksi yang masa kerjanya sudah berlangsung di atas tiga tahun melanggar pasal 59 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sistem kerja kontrak menjadi model pelanggaran yang menguntungkan perusahaan. Semakin kecil modal perusahaan (yang beroperasi karena diizinkan), maka semakin besar pelanggaran pengusaha. Sialnya, buruh perempuan menjadi sasaran untuk dipekerjakan di industri-industri skala kecil, seperti garmen.

Apakah buruh tidak melapor?

Di daerah-daerah kawasan industri di Jawa Barat, buruh (utamanya yang berserikat) melaporkan kasus-kasus mereka di Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) setempat. Disnaker biasanya berdalih kekurangan orang (SDM) atau bersiasat dengan membawa kasus-kasus pelanggaran pengusaha ke meja mediasi. Pelanggaran yang seharusnya dikenai sanksi, malah dibawa ke meja perundingan.

Aksi geruduk pabrik yang marak pada tahun 2012 adalah bentuk dari aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh buruh karena pemerintah tidak mampu menindak pengusaha-pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan, khususnya mengenai outsourcing. Apa yang negara lakukan?

Bukan, bukan melindungi buruh, tapi malah mengeluarkan SK Menperin No 466/M-IND/Kep/8/2014 yang menetapkan 13 kawasan industri utama di Indonesia sebagai objek vital nasional sehingga buruh tidak dapat lagi melakukan unjuk rasa di lokasi-lokasi tersebut atau mereka bisa ditangkap. (Baca: Mengapa Buruh Demo di Kawasan EJIP, Ditangkap?)

Buruh seharusnya dilindungi oleh hukum perburuhan, karena secara sosiologis, buruh bukan pemilik modal sehingga mereka dalam keadaan terancam. Pengusaha mampu melindungi dirinya sendiri karena mereka lah pemilik modal. Tapi, hukum ketenagakerjaan kita secara sengaja mendudukan buruh dan pengusaha sebagai pihak yang setara yang jelas kelihatan dalam hukum acara pengadilan hubungan industria (PHI) yang menggunakan hukum acara perdata murni. Dan, dalam prakteknya, negara lebih berpihak pada pengusaha dengan memenangkan kasus-kasus mereka di meja Disnaker dan pengadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *