Solidaritas.net, Papua – Menjelang hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, empat siswa SMA dan satu orang Papua tewas ditembak oleh gabungan aparat Kepolisian Resort (Polres) Paniai dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lapangan Karel Gobay, Paniai, Papua, jam 10 Wit, Senin (8/12/2014).
Dikutip dari Suarapapua.com, ini lima nama korban yang tewas:
1. Alpius Youw (17), siswa SMA Yayasan Pendidikan Pelayanan Katholik (YPPK) Enarotali, Paniai.
2. Yulian Yeimo (17), siswa SMA Yayasan Pendidikan Pelayanan Gereja Indonesia (YPPGI), Enarotali, Paniai.
3. Simon Degei (18), siswa SMA Negeri 1, Paniai Timur, Enarotali, Paniai.
4. Alpius Gobai (17), siswa SMA Negeri 1, Paniai Timur, Enarotali, Paniai
5. Abia Gobai (28), petani dari Enarotali, meninggal di RSUD Madi, Paniai
Selain kelima orang yang tewas tersebut, aparat militer juga melukai 21 orang lainnya sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Masih dikutip dari Suarapapua.com, berikut kronologisnya:
Sekitar pukul 01.30 Wit subuh, sebuah mobil hitam jenis fortuner melaju dari Enaro menuju kota Madi, yang diduga dikendarai oleh dua oknum anggota TNI yang biasa disebut dengan Tim Khusus TNI.
Karena melaju tanpa menyalakan lampu mobil, tiga warga sipil, yang diketahui masih berusia sekitar 12 – 13 tahun menahan mobil tersebut, dan meminta lampu mobil dinyalakan, karena warga juga sedang menjaga keamanan di masing-masing pondok natal.
“Anak-anak muda ini berjaga-jaga di pondok natal yang mereka buat, karena itu mereka tahan mobil tersebut, dan minta lampu dinyalakan, agar mereka bisa tahu,” kata Yones, warga yang menjadi saksi.
Tidak terima ditahan, beberapa oknum anggota Timsus TNI tersebut kembali ke Markas TNI di Madi Kota, dan kemudian mengajak beberapa anggota TNI kembali ke Togokotu, tempat ketiga anak dibawah umur tersebut menahan mereka.
“Mobil ini kembali bersama beberapa anggota TNI, dan melakukan pengejaran terhadap tiga anak kecil tadi, dan dua orang lari, kemudian yang satunya dipukul hingga babak belur dan pingsang, kemudian warga melarikan anak ini rumah sakit,” kata Yones.
Pagi harinya, warga Paniai berkumpul, dan meminta aparat melakukan pertanggung jawaban terhadap anak kecil yang dipukul, dan melakukan pembakaran terhadap mobil fortuner yang malam harinya diketahui melakukan penyerangan terhadap tiga warga tersebut.
“Masyarakat berkumpul di lapangan Karel Gobay, tapi belum dilakukan pembicaraan, aparat gabungan TNI dan Polri langsung melakukan penembakan secara brutal, dan empat orang tewas ditempat, dan sekitar 13 orang lainnya dilarikan ke rumah sakit, dan kritis saat ini,” kata Yones.
Sebelumnya, 3 Desember 2014, dua Brimob ditembak hingga tewas oleh kelompok bersenjata di Papua. Namun, kejadian ini tak bisa dijadikan dalih kepantasan bagi rakyat sipil yang kemudian harus menjadi korban kekerasan aparat militer. Kengerian pembantaian di Papua, yang kerap diklaim sebagai konflik ini, lebih panjang lagi jika diusut ke belakang. Sedikit banyak, tautan http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua ini bisa menggambarkannya.
Jangankan itu, menjamin kebebasan berserikat saja, negara gagal melakukannya di Papua. Masih belum kering dari ingatan kita, pada 3 November lalu, kelompok preman yang mengatasnamakan Komunitas Peduli Freeport (KPF) menyegel kantor Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang berencana menggelar pemogokan selama satu bulan. (Baca juga: Mogok Nasional Diganti Unjuk Rasa Nasional, Bukan Kata Baru!)
(Baca selanjutnya di halaman 2)
Massa KPF memasang sebuah spanduk bertuliskan “Kantor SPSI Disegel Forum Komunitas Peduli PT Freeport Indonesia. Terkait Rencana Aksi Mogok, Kami Menghendaki PT Freeport Tetap Berdiri di Tanah Amungsa”.
Padahal, saat itu pihak serikat pekerja sudah bersedia membatalkan pemogokan setelah berunding dengan pimpinan PT Freeport. Meski pihak serikat pekerja sudah melapor ke Kepolisian, celakanya polisi menilai aksi penyegalan tersebut sah-sah saja.
“Siapapun dia punya hak untuk menyampaikan aspirasi perorangan maupun kelompok/massa sejauh bisa terakomodasi secara normatif. Kami tidak mau menjadi pemadam kebakaran. Silakan yang berkompeten berkomunikasi dengan polisi. Kita tidak boleh memaksakan kehendak,” kata Kabag Ops Polres Mimika, Komisaris Polisi Arnolis Korowa di Timika, dikutip dari Bintangpapua.com.
Bagaimana mungkin polisi bisa mengeluarkan pendapat yang demikian cetek-nya. Padahal, di dalam UU No. 21 tahun 2000, kebebasan berserikat dijamin. Pengurus dan anggota serikat pekerja tidak boleh dipecat, dimutasi, diturunkan jabatan, diancam, apalagi sampai disegel kantornya. Pelanggaran terhadap kebebasan berserikat tergolong sebagai pidana kejahatan yang bisa dikenakan penjara satu sampai empat tahun dan atau denda Rp. 100 sampai Rp. 500 juta. (Baca juga: Kasus Union Busting di PT SPIL, Polisi Tetapkan Satu Tersangka)
Namun, sepertinya Undang-Undang ini tidak berlaku di sana. Papua seperti negeri yang begitu jauh dari Indonesia, seperti bukan bagian dari Indonesia. Kenapa mereka diperlakukan begitu kejam?