Solidaritas.net, Yogyakarta- Kamis (18/2), IPT (Internasional People Tribunal) 65 berhasil menyelenggarakan diskusi ilmiah dan pemutaran video interview dengan eksil serta pemaparan tentang IPT bertajuk “65 Hari Ini”. Diskusi ini diselenggarakan di Gedung Teatrikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (SuKa) Yogyakarta, dari pukul 13.00-16.00 WIB.
IPT 65 menyelenggarakan diskusi ini bersama LPM Rhetor selaku Badan Otonom Mahasiswa (BOM) Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Tak luput juga atas persatuan dari SMI (Social Movement Intitute), FPD (Front Perjuangan Demokrasi) dan LBH Yogyakarta mendorong penuh acara ini. Acara diskusi ini dihadiri oleh sekitar 200an massa yang memenuhi ruang teatrikal. Acara berjalan lancar tanpa ada gangguan dari pihak manapun terlebih gangguan dari front anti demokrasi.
Sebelumnya, IPT 65 sudah berencana menyelenggarakan acara ini di Yogyakarta sampai tiga kali, namun selalu gagal. Pertama, dari pihak IPT berencana menyelenggarakan di Fakultas Filsafat UGM bekerja sama dengan LPM Pijar. Sudah ada kesepakatan bersama dengan pihak LPM, namun satu minggu sebelum hari pelaksanaan acara dibatalkan sepihak.
Ke dua, rencana diskusi diambil alih oleh SMI dan mengajukan tempat lain. Direncanakanlah di salah satu kantor penerbit buku di Yogyakarta. Seperti halnya di UGM, sudah ada kesepakatan namun dua hari menjelang acara, pihak yang hendak memfasilitasi tempat mengundurkan diri. Alasannya karena pokok bahasan diskusi adalah IPT 65.
Rencana ke tiga ahirnya mencari lokasi lain. Ditentukanlah lokasi diskusi di sebuah kafe dimana banyak mahasiswa yang hobi menyambangi kafe tersebut. Namun, karena dirasa kafe tersebut bukan lokasi yang ideal ahirnya mencari lokasi lain lagi dan muncullah UIN SuKa sebagai lokasi yang strategis.
Bukan hal yang mudah menjadikan UIN SuKa sebagai lokasi diskusi. IPT 65, SMI, dan FPD melakukan perbincangan dengan LPM Rhetor. Ahirnya, LPM Rhetor bersepakat bergabung dan siap meloby ke pihak kampus atas dasar mempertahankan ruang demokrasi.
“…ini adalah sebuah karya yang harus dipertahankan untuk mempertahankan ruang demokrasi. Terlebih saat ini, sedang hangat represifitas yang dilakukan oleh aparat negara sampai milisi sipil reaksioner…” papar Adam Muslim ketua LPM Rhetor dalam sambutannya, Kamis (18/2).
Dengan diskusi panjang panitia bersama Ibu H. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D. selaku wakil dekan fakultas Dakwah dan Komunikasi bidang kemahasiswaan, ahirnya dikeluarkanlah ijin menggunakan Teatrikal Dakwah untuk lokasi diskusi.
“saya perlu menggaransi, perlu tau apa isi acara diskusi ini, sampai ahirnya pada saat saya bangun untuk sholat malam jam 3, saya langsung melihat apa yang disampaikan oleh mas Haedar (koordinator FPD), cukup agak lama diskusinya, karena isi acara ini cukup sensitif, sehingga membutuhkan strategi yang baik”, Alimatul Qibtiyah dalam sambutannya di pembukaan acara diskusi.
Ruang demokrasi di Yogyakarta memang sedang mengalami represifitas. Hususnya represifitas marak terjadi apalagi berkaitan dengan isu tragedi 65 dan isu-isu dari kaum minoritas lainnya. Pemberangusan demokrasi ini kerap muncul di ruang akademik, di berbagai universitas di Yogyakarta. UIN SuKa pun tak luput ketinggalan menjadi kampus yang punya catatan pemberangusan demokrasi.
Kita tidak bisa melupakan sejarah 11 Maret 2015, acara yang senada yakni pemutaran film Senyap yang diselenggarakan oleh LPM Rhetor dan FPD yang banyak menuai represifitas dari pihak UIN dan kelompok anti demokrasi FUI. Juga, kegagalan acara diskusi yang hendak dilaksanakan oleh kelompok Rausyan Fikr pada bulan Januari 2016 akibat dicabutnya izin peminjaman tempat oleh pihak kampus atas dalih keamanan. Yang sebelumnya ternyata diketahui pihak kampus sudah membicarakan dengan kelompok FUI dan berjanji untuk tidak memberi izin untuk menyelenggarakan diskusi.
Sejarah pemberangusan demokrasi di ruang akademis hususnya inilah yang membuat persiapan diskusi “65 Hari Ini” cukup matang dalam keamanan. Bukan hal yang tidak mungkin, acara diskusi ini digagalkan oleh kelompok anti demokrasi yang sering mengatasnamakan FUI/FAKI/FPI dan lain sebagainya. Untuk itu, persiapan menghadang kelompok anti demokrasi yang bisa mengganggu jalannya acara dipersiapkan dengan matang seperti dengan membuat tim keamanan menjadi beberapa ring/titik keamanan. Siasat perang dan peralatan perang seperti bambu/tongkat sudah dipersiapkan oleh pihak keamanan acara. Sama halnya strategi menghadang musuh pada saat pemutaran film Senyap.
“bukan hal tidak mungkin akan ada represifitas oleh kelompok anti demokrasi seperti FUI, FAKI, dan lain itu. Maka kita mempersiapkan alat perlawanan serta mental dan fisik untuk mengamankan acara ini. Ini kita lakukan karena kebenaran selalu dihalangi, maka mendiamkan situasi tanpa berbuat apapun sama artinya dengan mengingkari kebenaran.” Papar Gevan, selaku koordinator keamanan acara ini sekaligus ketua PEMBEBASAN Yogyakarta yang tergabung dalam FPD, Kamis (18/2).
FPD berhasil kembali melakukan gerakan melawan represifitas oleh kelompok anti demokrasi. Meski acara berjalan lancar, namun acara tak lepas dari sorotan mata-mata negara (intel) maupun mata-mata dari kelompok anti demokrasi. Keamanan yang berjaga di ring/titik luar gedung tepatnya di halaman parkir yang bertugas mengamat-amati jika ada orang atau kelompok dari luar mengganggu jalannya diskusi, mengaku melihat Burhan Kampak. Seorang tokoh dari kelompok FAKI yang beberapa kali membubarkan kegiatan yang dianggap bersimpati terhadap komunis.
“Tadi saya melihat Burhan Kampak. Ia masuk masih mengenakan helm namun hanya sampai di depan ruang Teatrikal, tempat diadakan diskusi. Ia hanya melihat-lihat,” ujar aktivis SMI.
Sementara itu, Elisabeth Ida selaku penyelanggara dari IPT 65 menghargai dukungan dari pihak kampus UIN diantara banyak ketakutan dari berbagai pihak. Namun, di UIN Kali ini ada keberanian dan semangat nyata yang berpihak pada perjuangan membela ruang demokrasi. Juga dukungan yang signifikan dari LBH Yogyakarta, dengan datangnya beberapa kawan dari LBH untuk mengawal acara diskusi.
Yang utama dalam keberhasilan penyelenggaraan diskusi adalah kerjasama berbagai organisasi gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat yang tergabung dalam FPD. Elizabeth pun mengaku kagum dan terharu akan semangat FPD dalam mengawal agenda pro demokrasi. Hanya dalam satu malam publikasi, acara dihadiri 200an massa dan tanpa ada represifitas dari kelompok anti demokrasi.
“Saya secara pribadi sangat kagum dan terharu akan semangat mereka dalam mengawal agenda pro demokrasi. Tanpa keberanian, kecerdasan, kesabaran, dan terutama kesadaran ideologis yang mereka miliki, represi akan terlalu mudah mendapatkan jalannya”. Elizabeth Ida saat dikonfirmasi tanggapannya melalui pesan singkat, Jumat (19/2).