Gerakan penolakan terhadap Uang Kuliah Tunggal (UKT) kini sedang bertumbuh di kalangan mahasiswa di berbagai universitas, termasuk di daerah Ternate. Situasi ini harus diartikan bukan sekadar karena Pandemi Covid-19, tetapi juga kepekaan terhadap situasi ekonomi orang tua yang sedang sulit dan kritik terhadap kebijakan pendidikan yang semakin menjadi barang dagangan.
Tidak heran jika mogok bayar UKT diserukan, sebagai bentuk perlawanan terhadap korupsi dan kebijakan pendidikan yang pro-kapitalis di negara yang super korup ini. Harus membayar UKT dalam situasi pandemi adalah suatu bentuk pembodohan dan korupsi atas dana pendidikan. Aktivitas perkualiahan kini tidak lagi di kampus, tetapi dari jarak jauh, sehingga jelas penggunaan fasilitas kampus untuk sarana belajar menjadi semakin berkurang. Mahasiswa bahkan harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membeli kuota internet dan peralatan komunikasi sebagai penunjang belajar.
Memang, tidak bisa mengharap kampus akan mengurangi beban ini yang justru semakin memperdalam kesusahan yang mencekik leher orang tua mahasiswa atas nama pendidikan. Hal ini dilakukan dengan mempertontonkan model pendidikan yang tidak manusiawi. Kalau sudah seperti ini, siapa yang mampu menyurakan kesulitan mahasiswa kalau bukan dirinya sendiri.
Mahasiswa tidak memiliki banyak harapan kepada lembaga mahasiswa, yang katanya hasil dari pilihan mahasiswa sebagaimana yang eksis secara formal seperti BEM, HMJ, DPM, dan lain-lain, untuk mencegah pembayaran UKT yang mencekik ini. Sebabnya, sejak lama mayoritas lembaga intra kampus hanya disetir dan didikte oleh birokrasi kampus demi popularitas, elektabilitas dan fasilitas.
Mungkin kawan-kawan mahasiswa akan mencari segala cara demi bisa membayar uang kuliah, bahkan dengan nekat membiarkan orang tua berutang, tetapi bagaimana yang tidak bisa mendapatkan uang sama sekali? Maka tidak ada cara selain melawan kebijakan UKT agar mendapatkan keringanan. Solidaritas adalah kunci untuk tidak mencari selamat sendiri-sendiri.
Kawan-kawan sendiri sebenarnya sudah memahami, bahkan berani mengambil konsekuensi, bahwa yang harus dilakukan adalah dengan mengonsolidasikan mahasiswa dari bawah dengan alasan yang konkret: bertahan di tengah Pandemi Covid-19. Kampus mendesak mahasiswa untuk menyediakan uang UKT tanpa memikirkan kondisi keluarga kawan-kawan mahasiswa. Maka, jalan yang harus ditempuh agar berhasil perjuangan membela keluarga kita adalah meluaskan perlawanan!
Membangun komite mogok, meluaskan solidaritas, dari kampus-kampus, ke tingkat daerah, hingga ke tingkat nasional tanpa mengharapkan lembaga intra kampus akan mempelopori ini. Biasanya para mahasiswa pejabat itu akan mengikut ketika gerakan sudah ramai, yang lagi-lagi demi mereguk popularitas. Oleh karena itu, pentinglah bagi kita untuk melihat dengan jernih siapa para pelopor dan siapa oportunis pencuri kesempatan.
Dalam situasi normal, kawan-kawan mahasiswa telah memenuhi segala kewajiban yang diminta oleh kampus. Namun, dalam situasi sulit, kampus yang tidak mampu memaklumi situasi ini, tentunya sangat tidak adil, memaksa, merampas dan menindas.
Kawan-kawan bisa belajar dari hari-hari sebelumnya di mana protes yang berlangsung mengalami banyak jalan buntu. Tapi kemungkinan hari ini adalah fakta momentum dimiliki kawan-kawan mahasiswa, yang berbeda dari hari kemarin. Kampus semakin tidak memiliki wibawa, semakin kapitalistik, kampus semakin keluar dari amanat UU tentang hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang gratis dan dijamin oleh negara untuk kecerdasan dan kemajuan bangsa.
Kawan-kawan bisa mengambil contoh bila perlu dan mau belajar mengilhami rahmat keberanian, keuletan, kecakapan, pengorbanan, dedikasi, militansi, solid, bersatu termasuk berani menerima konsekwensi yang dilakukan oleh KAWAN-KAWAN BURUH yang bermartabat-berprinsip-peka-dan berani melakukan mogok di pabrik/perusahaan mereka kerja karena hak-hak mereka yang diatur dalam UU perlindungan buruh dan hak-hak buruh diabaikan pengusaha/kapitalis. Resiko yang mereka tanggung adalah kehilangan pekerjaan.
Kawan-kawan tentu lebih banyak baca buku, belajar, berdiskusi, berorganisasi, beraksi, bermobilitas, berkonsolidasi, dan lain-lain yang merupakan barang mewah bagi buruh yang harus bekerja 8 hingga 12 jam sehari. Maka, di atas kertas, mahasiswa seharusnya lebih memiliki pengetahuan untuk mengembangkan sebuah gerakan politik, yakni dengan membawa gerakan menolak pembayaran UKT sampai ke tingkat politik agar kebijakan ini dihapuskan secara nasional, setidaknya di masa pandemi ini.
Pelajaran atas solidaritas sangat penting terutama untuk memahami bagaimana birokrasi kampus sekarang memberikan keringanan pembayaran UKT terhadap segelintir mahasiswa, yang kadang-kadang tidak dilihat dari latar belakang ekonominya, tapi posisinya di kampus. Memang pemberian keringanan ini dapat membantu mahasiswa tersebut, tetapi juga menimbulkan akibat “pecah belah” dan menjadi dalih birokrasi kampus bahwa mereka telah memberikan keringanan. Padahal ada jauh lebih banyak mahasiswa yang tidak mendapatkan keringanan. Maka, solidaritas adalah kunci untuk bahu-membahu memutus mata rantai mata rantai korup gaya kampus model bank ini.
Yang pertama adalah membangun kontak di antara mahasiswa dan dengan sektor rakyat lainnya, termasuk kelas buruh baik di daerah masing-masing dan secara nasional. Kondisi karantina Covid-19 ini telah mendidik kita untuk menggunakan alat-alat komunikasi secara online dengan lebih baik. Pemerintah juga bergantung pada komunikasi online sehingga akan lebih sulit bagi mereka untuk memadamkan perlawanan dengan memblokir internet. Kita telah terbiasa berkomunikasi termasuk berdiskusi online, sehingga pengembangan gagasan terjadi dengan lumayan cepat meskipun kita sulit saling bertatap muka.
Yang kedua, adalah melakukan mobilisasi ke jalan, ke kampus-kampus, dan lembaga-lembaga layanan pendidikan menuntut hal ini, bila disanggupi oleh kawan-kawan. Selama bisa dilakukan, bisa dikerjakan, laksanakan lah—sembari menyusun (melengkapi) syarat-syarat perlawanan selanjutnya untuk mogok maupun aksi yang lebih besar. Mobilisasi untuk diskusi dan aksi akan semakin mengembangkan pikiran dan gerakan kita. Di sini kita juga bisa membangun argumentasi untuk isu yang kita usung dan gagasan politik yang lebih besar ke depan, yakni bagaimana mengubah sistem pendidikan kita secara keseluruhan.
Setiap gerakan kita adalah bentuk perlawanan baik online maupun offline, karena birokrasi kampus juga sedang berusaha memadamkan gerakan kita. Mereka yang didukung oleh negara beserta aparatus kekerasan dan buzzer-buzzer atau pendengung mereka di media sosial, berusaha merontokkan perjuangan mahasiswa, termasuk dengan melakukan teror psikologis agar mahasiswa ketakutan dan dibuat tidak berdaya untuk melawan lebih jauh.
Bahkan mungkin juga akan langsung menyasar ke orang tua dan keluarga kita, sehingga, tentu memberikan penjelasan kepada orang tua dan keluarga adalah juga penting. Mungkin keluarga bisa menerima dan mendukung, atau bisa juga tidak, namun bahwa mahasiswa yang sudah memilih sistem pendidikan harus berubah, memang tak ada jalan lain selain itu maju dan melakukan aksi.
Salam sehat, lakukan dengan sebaik-baiknya, selamat berjuang dan wujudkan tuntutan kawan-kawan dari sekarang!
(Penulis adalah aktivis kelompok studi Bumi Manusia, tinggal di Ternate)