Solidaritas.net, Sinjai – Ratusan negara di dunia memperingati Hari Bumi Sedunia setiap tanggal 22 April. Berbagai kegiatan dilakukan, mulai dari menanam pohon hingga memungut sampah. Namun, Front Gerakan Anti Perampasan Tanah Rakyat (GERTAK) Sinjai menggelar aksi unjuk rasa dengan tema “Hentikan Kriminalisasi Petani Karena Alasan Pelestarian Hutan”, sebagai bentuk protes, kritik dan kecaman terhadap kebijakan pemerintah selama ini.

Menurut koordinator Front GERTAK Sinjai, Arman, selama ini kawasan hutan Indonesia telah menjadi ‘tempat pembuangan sampah produksi’ negara-negara kaya, agar tetap bisa mengeksploitasi sumber daya dunia. Negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat dan Eropa menolak menurunkan produksi karbonnya dengan memberikan suntikan dana bagi perawatan dan perluasan kawasan hutan di Indonesia, untuk mengimbangi produksi karbon mereka.
“Skema tersebut, secara tidak langsung berdampak pada masyarakat pedesaan, utamanya yang bermukim di sekitar hutan, baik berupa larangan masuk dalam kawasan hutan, larangan memungut hasil hutan, dipisahkannya masyarakat dari pengelolaan hutan, sampai pada sengketa klaim kepemilikan atas kawasan hutan oleh negara (Dinas Kehutanan) melawan masyarakat lokal,” jelas Arman dalam siaran pers, Rabu (22/4/2015).
Disampaikan oleh front yang merupakan persatuan aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, petani, masyarakat adat dan unsur lainnya di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan itu, skema perampasan lahan dan perampasan hak-hak masyarakat untuk mengakses hutan juga terus terjadi di Sinjai, dengan mengemukakan alasan kawasan konservasi (hutan lindung). Hal ini pun menimbulkan sengketa yang berkepanjangan antara masyarakat dengan pemerintah.
Akibatnya, banyak masyarakat yang menjadi korban jiwa dan harta benda, serta dipenjara akibat permasalahan ini. Berdasarkan data yang dihimpun Front GERTAK Sinjai, sedikitnya 30 orang telah dipenjara karena dianggap merambah kawasan hutan sejak tahun 1994. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11 orang di antaranya adalah masyarakat adat Baramabang Katute, Sinjai Borong, dan dua orang lainnya merupakan warga Desa Terasa, Sinjai Barat.
Kasus terbaru adalah yang dialami oleh Najamuddin, warga Desa Gunung Perak, Sinjai Barat. Dia pun dipenjara selama setahun. Kasus yang sama juga dialami oleh Bahtiar Sabang, penggerak masyarakat adat Turungan, Sinjai Barat. Dia dituntut penjara 1,6 tahun dan denda Rp 500 juta bertepatan dengan Hari Bumi Sedunia 2015. Dia dianggap bersalah hanya karena menyiangi kebunnya yang diklaim pemerintah sebagai kawasan hutan negara.
Jika negara tidak mengambil langkah-langkah strategis, maka pemenjaraan terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar hutan akan terus terjadi. Padahal, mereka menggunakan hasil hutan hanya untuk kebutuhan. Sedangkan di sisi lain, jauh lebih banyak korporasi yang merusak lingkungan hidup dan tatanan sosial, sehingga semakin mendekatkan bumi pada kehancurannya.
“Oleh sebab itu, Front GERTAK melalui momentum Hari Bumi menegaskan sikap, hentikan segala bentuk perampasan tanah dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, bebaskan para korban kriminalisasi, pulihkan nama baik dan hak-haknya, dan laksanakan reforma agraria sejati,” pungkas Arman.