
Solidaritas.net – Tunjangan transportasi merupakan salah satu bentuk tunjangan yang dibayarkan kepada buruh setiap bulannya dan telah lazim dikenal di kalangan buruh. Banyak yang beranggapan bahwa tunjangan transportasi ini tidak wajib diberikan kepada buruh, mengingat tidak diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan.
Namun demikian, tentang tunjangan transportasi sendiri dikenal dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokkan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah. Dalam angka 1 huruf c, disebutkan sebagai berikut:
“Tunjangan tidak tetap adalah suatu pembayaran secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan pada kehadiran, Tunjangan Makan dapat dapat dimasukkan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan biasa dalam bentuk uang atau fasilitas makan)”
Jika dicermati kembali, biaya transportasi bagi buruh untuk pergi ke tempat bekerja, juga diperhitungkan sebagai komponen kebutuhan hidup layak sebagai dasar penentuan upah minimum, yang disepakati oleh Dewan Pengupahan untuk kemudian ditetapkan oleh Gubernur. Hal ini tertuang pada Lampiran I dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 13 tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Biaya transportasi yang diperhitungkan dalam Permenakertrans 13/2012 tersebut adalah biaya transportasi angkutan umum yang timbul saat pergi ke tempat kerja dan pulang dari tempat kerja. Sehingga pada dasarnya, biaya transportasi yang dibutukan oleh buruh untuk pergi dan datang bekerja, justru seharusnya merupakan biaya yang wajib dibayarkan atau ditanggung oleh pengusaha.
Karena perhitungan komponen kebutuhan hidup layak dilakukan melalui survey secara umum, maka sering kali biaya transportasi yang kemudian disepakati oleh Dewan Pengupahan, tidak mencerminkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan oleh buruh. Hal ini bisa diakibatkan berbagai macam hal, seperti tempat tinggal buruh yang beragam jaraknya dari tempat kerja serta ketersediaan transportasi publik yang tidak memadai, sehingga memaksa buruh untuk membeli kendaraan bermotor sendiri.
Oleh karena itu, buruh berhak untuk menuntut kepada pengusaha agar diberikan kepadanya penggantian biaya transportasi yang timbul dalam bentuk tunjangan transportasi atau diberikan kepadanya fasilitas antar jemput. Minimal, dapat dituntut sebesar selisih dari perhitungan komponen hidup layak yang disetujui oleh Dewan Pengupahan, dengan kebutuhan biaya transportasi riil yang dikeluarkan oleh buruh.
Selanjutnya besaran tunjangan transportasi atau pemberian fasilitas antar jemput ini harus dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama, agar menjadi aturan yang harus ditaati oleh kedua belah pihak, yaitu pengusaha dan buruh.