Oleh: Andri Yunarko
Buruh DMST 1 Berdemo. (Kredit: solopos.com)Solidaritas.net, Sragen – Perusahaan PT.Delta Merlin Sandang Tekstil 1 (PT.DMST 1) berdiri sejak tahun 2003, bergerak di bidang tekstil yang memproduksi kapas menjadi benang dengan mempekerjakan buruh kurang lebih 3.000 orang. Seluruh buruh yang bekerja di perusahaan ini dipekerjakan dengan sistem kontrak yang berkali-kali (berkepanjangan). Di tahun 2007, perusahaan menggunakan sistem outsourcing di mana setiap tahunnya pekerja diwajibkan melamar ulang ke perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang ditunjuk oleh PT.DMST 1, baru kemudian bisa bekerja kembali di perusahaan tersebut.
Kondisi memprihatinkan juga menimpa buruh perempuan yang bekerja di PT.DMST 1 dengan tidak diberikannya hak cuti melahirkan, sehingga apabila ada karyawati yang hamil, maka akan diputuskan hubungan kerjanya dengan cara dipaksa mengundurkan diri. Begitu juga dengan hak cuti haid bagi buruh perempuan, tidak diberikan oleh pengusaha PT.DMST 1.
Buruh juga tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek (kini Badan Penyelanggara Jaminan Sosial / BPJS), bahkan sekedar jaminan kecelakaan kerja pun tidak diberikan oleh perusahaan.
Dirikan Serikat
Ingin nasib yang lebih baik, buruh PT.DMST 1 mendirikan organisasi serikat pekerja dengan bergabung pada Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) untuk memperjuangkan hak-hak normatif mereka yang selama ini tidak diberikan oleh pengusaha. Perundingan yang dilakukan antara serikat pekerja dan pengusaha melibatkan pihak Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Sragen sebanyak dua kali, namun tidak membuahkan hasil.
Pada tanggal 2 Agustus 2014, pengusaha justru melarang buruh memasuki perusahaan, kecuali mereka yang sepakat untuk menandatangani kontrak kerja baru dengan pihak penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing) yang ditunjuk oleh perusahaan, padahal perusahaan outsourcing ini tidak memiliki ijin operasi di wilayah Kabupaten Sragen. Undangan untuk menandatangani kontrak baru ini pun hanya disebarkan melalui pesan singkat (SMS) dan tidak semua buruh mendapatkan SMS tersebut, khususnya mereka yang bergabung dengan serikat pekerja.
Dua hari setelahnya, 400 buruh yang tergabung dalam serikat pekerja FBLP melakukan aksi di depan pabrik PT.DMST 1 untuk menuntut agar sistem outsourcing dihapuskan karena melanggar UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan buruh yang telah bekerja selama lebih dari 3 tahun diangkat menjadi karyawan tetap.
“Aksi unjuk rasa ratusan buruh FBLP-Sragen ini didukung warga kelurahan Bumiaji, Kecamatan Gondang, untuk menuntut sistem outsourcing dihapuskan dan buruh yang telah bekerja 3 tahun diangkat sebagai karyawan tetap,” Martuti, wakil Sekretaris Jendral FBLP menjelaskan.
Aksi ini juga mendapatkan dukungan dari anggota DPRD Kabupaten Sragen dari fraksi PDIP, Bambang Samekto, yang menyatakan siap “pasang badan” demi membela hak-hak buruh yang selama ini hanya dipekerjakan sebagai tenaga kontrak ataupun outsourcing. Ia menyarankan agar perusahaan ditutup sementara waktu jika masih ada buruh yang dilarang masuk kerja.
Didakwa Kriminal
Segera setelah aksi, Kepolisian Sragen menangkap tujuh buruh yang dianggap sebagai koordinator aksi. Hingga pada tanggal 6 Agustus 2014, ketujuh orang buruh ini didakwa melakukan tindak pidana ringan, dalam persidangan yang digelar Pengadilan Negeri Sragen, ketujuh buruh tersebut dijerat pasal 493 KUHP.
Dalam persidangan ini, hakim mengajukan beberapa pertanyaan yang sifatnya menyudutkan buruh, seperti “apakah demonstrasi sudah meminta ijin perusahaan?”, “apa dibenarkan buruh kontrak minta menjadi pegawai tetap?”, “bagaimana nanti kalau demo pabrik pindah ke luar negeri?”. Hingga akhirnya hakim memutuskan vonis pidana kurungan 7 hari dengan masa percobaan selama sebulan.
Terhadap penangkapan ini Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Samsudin Nurseha , menilai tindakan kepolisian tersebut telah melanggar Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia. Samsudin menjelaskan bahwa hak menyatakan pendapat buruh dilindungi UU No.9 tahun 1998, UU No. 12 tahun 2005 dan UU No.39 tahun 1999.
Selain itu, kasus ini tidak selayaknya disidangkan di Pengadilan Negeri, tapi seharusnya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) karena kasus ini adalah kasus ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang khusus, yakni UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Gerak Kepolisian juga terkesan cepat ketika mendakwa buruh sebagai pelanggar hukum, namun sangat lamban dalam menangani kasus pelanggaran pengusaha yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.
“Lex specialis derogat legi generalis, aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan atau mengalahkan aturan hukum yang umum. Dalam hal ini UU yang melindungi buruh bersifat khusus, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-ed) bersifat umum,” terang Samsudin.
Menindaklanjuti hal ini pihaknya akan melaporkan Polres Sragen kepada Kompolnas dan Propam Mabes Polri serta meminta audiensi kepada DPRD Kabupaten Sragen untuk mendapatkan dukungan konkret dari lembaga legislatif Sragen ini.
“Beberapa waktu lalu, tuntutan kami mendapatkan dukungan dari Bapak Bambang Samekto, anggota DPRD dari fraksi PDIP, namun belum lah konkret. Untuk itu kami akan meminta diadakan audiensi kepada DPRD Kabupaten Sragen agar membantu penyelesaian kasus ini,” kata Martuti.
Di samping langkah tersebut, FBLP-Sragen juga akan mengadakan aksi unjuk rasa dalam waktu dekat.
“Kita juga sedang mempersiapkan aksi unjuk rasa dengan menggalang solidaritas dari berbagai organisasi buruh, mahasiswa maupun elemen masyarakat lainnya. Tuntutan kami akan diarahkan pada Bupati Sragen dan Disnakertrans Kabupaten Sragen agar sistem outsourcing di PT.DMST 1-Sragen dihapuskan dan buruh dengan masa kerja tiga tahun ke atas diangkat sebagai karyawan tetap sesuai ketentuan UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.”