(Jafar Suryomenggolo*)
“Selamat tinggal, kaum proletar”. Begitu judul buku karangan André Gorz, seorang pemerhati sosial di Prancis. Buku tersebut terbit tahun 1980. Isinya tak lain dari kegelisahan intelektual akan lesunya gerakan buruh, terutama di Eropa Barat. Partai-partai kiri ataupun sosialis melempem, sementara partai konservatif (kanan) mulai naik. Di Inggris, setahun sebelumnya Thatcher terpilih menjadi perdana menteri dan sudah mulai melakukan perombakan ekonomi. Neo-liberalisme mulai menyelinap masuk panggung.
Tapi bukan itu saja yang menjadi kegelisahannya. Ada sesuatu yang dirasakannya mendasar. Yaitu, dunia kerja yang semakin mencengkram kehidupan. “Buruh bekerja di pabrik Peugeot (pabrik mobil di Perancis) atau pabrik Boussac (pabrik tekstil), tidak lagi berkarya membikin mobil ataupun merajut tekstil”, begitu ungkapnya. Dalam perkembangan kapitalisme di Eropa Barat, bekerja sudah dilepaskan dari nilai-nilai pembebasan ataupun membentuk kehidupan. Akibatnya pula, kaum buruh telah menjadi satu bagian yang tak terpisahkan di dalam sistem kapitalisme. Dan, buruh dibuat terlena dan lupa akan panggilan sejarahnya. Yaitu, meruntuhkan sistem kapitalisme guna menyusun dunia yang lebih adil. Maka itu pula, Gorz mengucapkan selamat tinggal kepada kaum buruh proletar. Menurutnya, mereka sudah dilucuti dari kekuatan revolusionernya.
Terbitnya buku ini menimbulkan debat panjang di kalangan intelektual kiri. Masihkah ada harapan akan kehidupan yang adil berlandaskan kesama-rataan? Jika tidak, apa gunanya serikat buruh yang dianggap sebagai penggali kubur kapitalisme?
Debat ini sendiri lepas dari perkembangan yang terjadi di Eropa Timur. Tahun 1980 juga menjadi tahun penting di Polandia. Gerakan buruh independen, Solidarność, didirikan bulan September 1980. Bukan di kalangan buruh industri pabrik, tapi buruh galangan kapal. Pemimpinnya, Lech Wałęsa, seorang buruh biasa yang saat itu berusia 37 tahun dan sempat beberapa kali ditahan pemerintah. Organisasi ini berdiri di luar partai komunis, sesuatu yang cukup nyeleneh di suatu negara yang menganut ideologi komunis dan mengklaim sebagai perwujudan wakil kaum buruh. Perlahan tapi pasti, Solidarność menggalang kekuatan, dan pada akhirnya berhasil menjadi harapan baru bagi rakyat yang rindu kebebasan. Puncaknya pada pemilihan umum tahun 1989 saat Wałęsa masuk menjadi anggota parlemen dan mulai mengubah sistem politik. Kondisi politik yang terjadi di Polandia menjadi penanda perubahan peta Eropa. Tembok Berlin runtuh di bulan November 1989, dan rejim komunis di Eropa Timur satu per satu gulung tikar. Dengan ini pula, ideologi komunisme dianggap sudah bangkrut. Yang didaulat sebagai pemenang adalah kapitalisme.
Kondisi masa kini memang jauh berbeda dari dua dekade lalu. Tapi pertanyaannya tetap sama. Apakah gerakan buruh masih dapat diharapkan membawa perubahan? Atau, cukup diucapkan selamat tinggal? Jika demikian, apakah ada harapan baru atas gerakan buruh dalam sistem kapitalisme yang makin mencengkram kehidupan?
Dalam konteks di Amerika, Stanley Aronowitz menawarkan gagasan-gagasan baru. Bukunya berjudul: The Death and Life of American Labor: Toward A New Workers’ Movement (Kematian dan kehidupan buruh Amerika: Menuju gerakan buruh yang baru). Di dalam buku kecil ini, beliau meletakkan “kematian” lebih dulu, dan sesudahnya baru diikuti oleh “kehidupan”. Jadi, kaum buruh perlu “bangkit dari kematian” agar bisa menjadi “hidup”.
Apa saja yang menjadi unsur-unsur “kematian”? Menurutnya, penyebab utama adalah “the limits of the organizers’ imagination”. Alias, terbatasnya daya imajinasi para pengurus buruh. Ini menjadi sumber dari birokratisme di dalam serikat buruh dan, terbelenggunya serikat buruh di dalam penjara bikinan pengusaha.
Birokratisme serikat buruh sudah dirasakan sangat akut. Ini mencakup hirarki di antara pengurus dan juga, jurang antara pengurus dan buruh anggota. Pengurus merasa dirinya lebih tahu, lebih hebat dan lebih mampu. Buruh anggota dibuat menjadi bergantung pada pengurus. Akibatnya, serikat buruh telah menjadi “institution without vision”. Sebuah lembaga tanpa pandangan masa depan.
Sementara itu, tantangan dari luar berupa perubahan dunia kerja yang dipaksakan oleh pengusaha. Kemajuan teknologi menyebabkan perubahan-perubahan besar di dalam pabrik. Semakin sedikit buruh yang diperlukan dalam memproduksi barang. Juga, sistem manajemen menekankan efisiensi. Di dalam ideologi neo-liberalisme, yang diagungkan adalah persaingan antar perusahaan. Ini artinya, pengusaha ingin keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Siapa yang harus menanggung ini semua? Tak lain tak bukan, kaum buruh. Terlebih di dalam globalisasi, upah murah menjadi daya tarik investor.
Adakah jalan keluar dari ini “kematian” ini? Bagaimana gerakan buruh perlu “bangkit” demi menuju “kehidupan” yang baru?
Tidak ada resep yang praktis. Stanley Aronowitz menawarkan beragam contoh gerakan sosial yang dapat dijadikan pelajaran bagi gerakan buruh. Ada beberapa unsur yang dapat dipetik. Misalnya, gerakan mesti dimulai dari bawah, yang disebutnya sebagai “new egalitarian vision”. Artinya, perlu ada penguatan di basis anggota dan penyadaran sosial, bukan semata-mata monopoli pengurus.
Juga, dikemukakann perlunya memahami dunia buruh dalam totalitas kehidupan sosial. Serikat buruh perlu terlibat di dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga, ikut turun tangan dalam masalah-masalah umum. Khususnya, masalah perubahan iklim. Lingkungan hidup juga perlu masuk menjadi agenda serikat buruh. Sebab, selama ini serikat buruh sering abai akan soal-soal lingkungan hidup dan menjaga alam.
Langkah-langkah ini memang jangka panjang. Tidak ada disebut soal pembentukan partai buruh, masuk politik guna melakukan perubahan dari “dalam”, ataupun merevisi undang-undang ini dan itu, yang semuanya itu cenderung bersifat sementara dan teknis-praktis. Bukan menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Karena itu pula, ini menuntut kerja yang berdedikasi (bukan untuk menjadi terkenal!) dan pengurus yang imajinatif dalam menjawab tantangan dunia kerja. Perlawanan dan perjuangan kaum buruh senantiasa bersifat kolektif.
Bagaimana dengan gerakan buruh Indonesia? Apakah sudah tenggalam menjadi mumi di dalam “kematian”? Apakah mungkin “bangkit” dan membawa harapan baru? Atau, apakah kita cukup melambaikan tangan perpisahan bersama André Gorz?
*) Penulis adalah pemerhati perburuhan.