Solidaritas.net | Depok – Setiap tahunnya pemerintah selalu menaikkan upah minimum bagi para buruh melalui penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Namun, pada umumnya sebenarnya upah yang diterima mereka secara riil ternyata tidak mengalami kenaikan sama sekali, karena masih jauh dari standar upah yang layak.

Selain itu, mengenai jaminan sosial bagi para buruh, terutama jaminan kesehatan dan jaminan hari tua juga masih kurang mendapat perhatian pengusaha yang mempekerjakan mereka. Meskipun saat ini pemerintah sudah menggalakkannya, terutama sejak dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tetapi kondisinya tetap tidak jauh berbeda.
Padahal, upah buruh dan jaminan sosial yang diberikan secara stimultan ternyata sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan para buruh. Pengaruhnya tersebut telah diungkap secara ilmiah oleh mahasiswa program doktoral pada Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan, Universitas Indonesia.
“Baru pada tahun 2012 upah buruh mempunyai kenaikan yang signifikan, meskipun masih dianggap belum cukup layak untuk memenuhi kebutuhan buruh,” terang mahasiswa bernama Syahganda Nainggolan itu, ketika mempertahankan promosi gelar doktornya di Kampus FISIP UI, Depok, Jakarta, Jumat (16/01/2015), seperti dilansir Kompas.com.
Dalam sidang promosi yang dipimpin oleh ketua sidang Dr Arie Setiabudi Soesilo, MSc itu, Syahganda pun mengajukan hasil penelitiannya yang berjudul “Analisa Pengaruh Jaminan Upah Layak, Jaminan Sosial dan Solidaritas Sosial terhadap Kesejahteraan Buruh”. Selain itu, promotornya Prof Dr Bambang Shergi Laksmono, MSc juga turut hadir dalam sidang itu.
Menurut Syahganda, tuntutan buruh untuk hidup layak sebenarnya mendapat legitimasi konstitusional dan prinsip-prinsip yang bersandar pada hak-hak dasar buruh, serta prinsip jaminan sosial dari negara bagi semua warga negara, baik itu berupa asuransi sosial maupun bantuan sosial. Sedangkan pengusaha menuntut adanya efisiensi dan daya saing.
Prinsip efisiensi yang dilakukan oleh pengusaha sendiri didukung oleh konsep neoliberal yang diturunkan dalam flexibility labor market maupun persaingan global yang semakin nyata. Sehingga pada akhirnya muncul masalah dimana buruh selalu merasa hak-haknya belum diperoleh dengan baik, sedang pengusaha merasa sudah memberi biaya maksimal.
“Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang adanya pergeseran pemikiran dan fakta yang saling bertentangan antara tuntutan kehidupan yang layak buruh dengan tuntutan efisiensi dan daya saing dari pengusaha,” ungkap mantan aktivis Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sarjana Teknik Geodesi dari ITB itu lagi dalam sidang promosi doktoralnya tersebut.
Dijelaskannya, pergeseran pemikiran itu adalah dengan adanya rekonsiliasi yang mengarah pada strategi kompromi. Itu bisa terjadi melalui fleksibilitas pasar buruh dengan cara memaksimalkan proteksi sosial, atau dikenal dengan flexicurity. Sedangkan mengenai survei kebutuhan hidup layak yang dilakukan setiap tahun, menurut Syahganda malah menjadi penyebab terjadinya masalah upah minimum antara buruh dan pengusaha di Indonesia.
“Faktor lainnya adalah tidak adanya keterhubungan antara kebijakan pengupahan dengan kebijakan perlindungan sosial (kesejahteraan),” tandas Syahganda lagi menjelaskannya.