Meski bukan termasuk begara benua Eropa, namun ternyata Indonesia turut bersumbangsih dalam penyelenggaraan turnamen sepakbola Euro 2016 di Perancis. Tentunya bukan sebagai peserta, melainkan melalui seragam (jersey) Tim Nasional Inggris yang merupakan buatan dari para buruh Indonesia. Liputan investigasi dari media ternama Inggris, The Sun menemukan fakta bahwa jersey yang dipakai bintang sepakbola Wayne Rooney dan kawan-kawan itu diproduksi oleh pabrik asal Jakarta, PT Grand Best Indonesia.
Pesepakbola Timnas Inggris dengan jersey terbaru. Foto: PojokSatu.id |
Tidak hanya membuat jersey Timnas Inggris di Euro 2016 yang suplai oleh apparel asal Amerika Serikat itu saja, para buruh di perusahaan tersebut juga memproduksi jersey klub sepakbola dunia, Barcelona (Spanyol) dan Paris Saint-Germain (PSG) di Perancis. Namun menurut The Sun, upah yang diperoleh para buruh pembuat jersey tim sepakbola dunia itu sangat rendah dan tidak layak. Para buruh tersebut hanya mendapatkan upah sebesar 165 poundsterling setiap bulan, yang dinilai oleh The Sun sangat tidak layak dan terlalu rendah.
“93 persen dari pekerja adalah perempuan. Banyak di antara mereka yang tinggal di gubuk-gubuk kecil di jalan-jalan kotor, di mana kambing dan ayam berkeliaran dengan bebas, dan penuh dengan tumpukan sampah yang beterbangan,” tulis The Sun dalam laporannya, seperti dikutip dari portal PojokSatu.id, Sabtu (11/06/2016).
Jika dihitung dalam kurs rupiah, gaji para buruh tersebut berkisar Rp 3,2 juta per bulan. Jumlah tersebut memang sudah memenuhi ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta senilai Rp 3,1 juta. Namun, jika dibandingkan dengan besaran upah di Eropa, seperti dilakukan The Sun, tentu saja nilai upah buruh pembuat jersey itu sangat rendah. Selain itu, media internasional tersebut juga menyebut harga jersey Timnas Inggris di Euro 2016 itu saja mencapai sekitar 60 poundsterling atau setara dengan Rp 1,2 juta untuk satu jersey. Yang lebih fantastis, upah sebulan buruh itu hanya setara dengan 10 menit bayaran pemain Timnas Inggris, Wayne Rooney.
Perusahaan-perusahaan internasional yang banyak mempekerjakan buruh dari negara-negara berkembang dengan upah yang lebih murah demi memangkas biaya produksi, sudah sejak lama menjadi sorotan banyak pihak. Seperti dikutip dari Okezone.com, pada tahun 2013 lalu, Director Education for Justice, James W Keady mengungkap bahwa keuntungan besar yang didapat produsen peralatan olahraga dunia, Nike ternyata tidak membuat para buruhnya sejahtera. Padahal, keuntungannya pada tahun 2012 mencapai 2,2 milar dolar AS.
Pada tahun 2014, Nike pernah dituntut karena tidak memberikan gaji yang layak bagi para buruhnya di Indonesia. Lembaga anti kemiskinan global, SumOfUs mengirimkan petisi pada perusahaan tersebut, karena telah mengeksploitasi para buruhnya. Nike dikecam, karena menjual jersey Timnas Inggris seharga 150 dolar AS atau sekitar Rp 1,7 juta, namun hanya menggaji buruhnya di Indonesia dengan upah 50 cent atau sekitar Rp 5.600 per jam untuk memproduksi jersey tersebut. SumOfUs meminta Nike menggaji buruhnya dengan layak.
Ketimpangan upah buruh Nike yang berada di Indonesia dengan keuntungan yang diraup oleh perusahaan ini merupakan cerminan ketidakadilan global yang terus meningkat.
Pada Januari 2016 lalu, Oxfam merilis laporan berjudul An Economy for the 1% yang mengungkapkan kekayaan total 62 orang terkaya di dunia setara dengan total kekayaan setengah penduduk dunia yang dikategorikan miskin. Setahun sebelumnya, jumlah orang terkaya itu masih 80 orang. Oxfam memprediksi satu persen penduduk dunia yang berjumlah sekitar 70 juta akan memiliki kekayaan lebih banyak ketimbang 7 miliar orang atau 99 persen.
Meningkatnya ketidakadilan global ditengarai disebabkan oleh keringanan pajak dengan cara memindahkan keuntungan ke negeri-negeri yang pajaknya rendah. Hal ini mengurangi penyerapan pajak dan meningkatkan kekayaan kapitalis. Terungkapnya kasus Panama Papers adalah bukti praktik ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Ketidakadilan global ini juga dinilai sebagai penyebab meningkatnya kekerasan dan terorisme, seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Konferensi Asia Afrika 2015 lalu.