Upah Naik Tiap Tahun, Tapi …

0

(Jaelani*)

ibu jualan di pasar
Foto: erasalafy.wordpress.com.

Setiap akhir tahun buruh menuntut kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) untuk kesejahteraan buruh pada umumnya. Tuntutan ini terus bergejolak sampai ke tingkat perusahaan untuk mendapatkan nilai tambah melalui perundingan yang berlarut-larut. Seringkali yang didapatkan hanya penilaian prestasi kerja yang terdiri dari nilai A sampai E yang nominalnya hanya Rp 5.000. Diberikan selisih (kelipatan) Rp 1.500 sesuai tingkat eselon dan prestasi kerja. Di pabrik penulis, jabatan eselon 2a mendapatkan tunjangan Rp 12.500 dan jabatan di atasnya mendapatkan tambahan Rp 1.500 dan seterusnya (kelipatan Rp 1.500).

Walau buruh mampu menuntut kenaikan UMK, tapi perusahaan akan kembali mengkalkulasinya sebagai biaya produksi karena buruh dianggap sebagai bagian dari produksi. Perusahaan akan melakukan berbagai cara untuk mengurangi biaya produksi tersebut. Sehingga terjadilah “permainan” yang dilakukan oleh pelaku pasar yang notabene adalah pemilik modal. Mereka mampu memonopoli pasar agar harga naik sesuai keinginan keuntungan mereka.

Apalagi jika biaya bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) mengalami kenaikan serta terjadi kelangkaan yang disengaja. Pasokan barang ke pasar macet sehingga menjadi alasan kenaikan harga sembako. Akibatnya, upah buruh yang naik pun terkikis, menjadi turun sekian persen (nilai rilnya).

Baca juga: Saat Anggota Serikat Punya Jabatan di Pabrik

Kehidupan buruh (bahkan masyarakat umum) tidak akan terlepas dari segala kebijakan perusahaan yang memiliki modal. Setelah UMK menyusut, buruh mengharapkan tambahan dengan harap-harap gemes mudah-mudahan ada over time (lembur) Sabtu atau Minggu.

Itulah dilema yang harus dihadapi buruh setiap saat. Begitu juga rakyat kecil yang telah terbiasa mengalami krisis ekonomi. Hal ini telah mendidik mereka untuk lebih berpikir keras mengelola keuangan mereka melalui usaha kecil dan menengahnya dengan mengikuti alur “pemainan” yang harus dijalani.

Rakyat kecil “optimis” mengikuti permainan dengan bereaksi sederhana terhadap penawaran (tidak bisa menyangkal) harga. Misalnya jika buruh menawar harga ikan dan sembako, maka jawabannya adalah: “maaf mbak/mas harganya naik karena BBM (atau TDL) naik.” Tapi coba, Buruh tidak bisa menawar begini: “maaf, nilai UMK kami menyusut karena BBM dan TDL naik.”

Rakyat kecil (yang pedagang kecil) ini bisa mengurangi ukuran (timbangan) barang dan harganya tetap sama atau harganya dinaikkan tapi timbangan barang tetap sama. Buruh bisa menuntut ke pemerintah untuk menurunkan harga BBM dan sembako atau menolak kenaikan BBM. Tapi tidak bisa menawar atau mengurangi jam kerja jika harga BBM dan harga barang lainnya dinaikan oleh pengusahanya.

Kalau buruh menjadi “mitra” perusahaan akan sejahtera hidupnya karena setiap skill dan tenaga akan dihargai tinggi. Sebaliknya, buruh menjadi bagian dari produksi akan tergerus oleh kebijakan produksi dan marketing yang mengkalkulasi biaya produksi dan marketing tersebut. Jadi, buruh pabrik yang hanya mengikuti pasar secara langsung maupun tidak langsung, terkena imbasnya.

(* Seorang buruh yang bekerja di salah satu pabrik di Kawasan MM2100, Cikarang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *