Solidaritas.net – Dalam pelaksanaan mogok kerja yang sah, disyaratkan beberapa hal, seperti tertuang dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 137 dan Kepmen. 232 tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah, yaitu sebagai akibat gagalnya perundingan, baik perundingan menemui jalan buntu atau pengusaha tidak bersedia berunding meski telah diminta secara tertulis sebanyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 hari kerja.
Lebih lanjut UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 140, mensyaratkan adanya pemberitahuan secara tertulis 7 (tujuh) hari kerja sebelum pelaksanaan kepada pengusaha dan Disnaker terkait waktu dimulai dan diakhirinya mogok kerja, tempat, alasan-alasan penyebab mogok kerja serta penanggungjawab pelaksanaan mogok kerja.
Akan tetapi dengan sah-nya mogok kerja, tidak serta merta buruh berhak atas upah selama mogok kerja dilaksanakan. Ketentuan dalam pasal 145 menyatakan bahwa buruh tetap diupah saat melaksanakan mogok kerja hanya jika tuntutan yang diajukan adalah pelanggaran pengusaha terhadap hak normatif. (Baca lainnya: Legalisasi Upah Murah)
Dalam penjelasan terhadap pasal 145 disebutkan bahwa yang dimaksud melanggar hak normatif adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat Disnaker. (Baca lainnya: Moratorium Kurikulum 2013 Hanya Basa-Basi)
Katakanlah buruh tetap dengan berani melakukan mogok dengan tuntutan di luar normatif, maka mogok tersebut dapat dikategorikan sebagai tidak sah alias mangkir. Jika buruh melakukan pemogokan semacam ini selama 5 (lima) hari berturut-turut dapat dipecat sesuai dengan ketentuan pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, ada juga yang bersiasat melakukan pemogokan selama kurang dari lima hari, masuk kerja sehari atau dua hari, lalu kembali melakukan pemogokan. Contohnya pemogokan PT Suzuki Indomobil Tambun pada tahun 2013 lalu.
Namun, pemogokan semacam ini harus dijalani dengan kekompakan dan rasa solidaritas yang tinggi terhadap kawan, satu orang sekalipun. Sebab, pengusaha kerap melakukan tindakan balasan dengan berbagai cara, misalnya kriminalisasi aktivis buruh atau melakukan PHK terhadap buruh yang dianggap mempelopori. Seringkali, buruh tidak meresponnya dengan pembelaan terhadap kawan, tapi malah membiarkan saja alias cari selamat masing-masing.
(Baca selanjutnya di halaman 2)
Peraturan pemerintah mengenai pemogokan di atas mencerminkan lemahnya peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak buruh. Bahkan, seharusnya buruh tidak perlu melaksanakan mogok kerja terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan jika penegakan hukum berjalan dengan sebagaimana mestinya. Keberadaan ketentuan ini juga dapat dipandang sebagai upaya melemahkan gerakan buruh sebagai gerakan massa dengan mempersulit pelaksanaan hak mogok kerja yang dimiliki buruh.
Ke depannya, jika buruh berkehendak untuk melakukan pemogokan dengan tuntutan di luar normatif atau tanpa memenuhi syarat sah pemogokan, contohnya melakukan mogok nasional, maka hal ini harus dilakukan dengan kesadaran dan kekompakan tinggi. Tiada lain, untuk mencapai kesadaran itu, buruh harus menempa diri dalam pendidikan dan praktek pembebasan yang memberikan pemahaman mengenai akar penindasan dan cara mengubahnya hingga tuntas. Tiada praktek yang maju, tanpa teori yang maju.
Catatan:
A. UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 137
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pasal 145
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.
Penjelasan UU no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 145
Pasal 145
¤ Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
¤ Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif.
Kepmen no. 232 tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah
Pasal 4
Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.