Solidaritas.net, Beijing – Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking) telah dipulangkan ke tanah air setelah mendapat Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dari Kedutaan Besar RI di Beijing, Tiongkok, Selasa (21/4/2015).
Pemulangan WNI ke Negara asal bermula dari laporan yang dilakukan TKW kepada pihak Kedutaan Besar Republik Indonesi (KBRI). Saat itu, visa yang dimiliki TKW tengah habis namun pihak majikan enggan melakukan perpanjangan karena tidak ingin berurusan dengan hukum. Ditambah lagi, pihak agen yang justru tidak bertanggung jawab.
Seperti yang dilansir Antaranews.com, “Ketika visa habis, majikan tidak mau memperpanjang karena tidak mau tersangkut masalah hukum, lalu karena agen juga tidak bertanggung jawab maka saya lapor ke KBRI di Beijing,” kata salah satu TKW, berinisial WO.
Selain itu, korban trafficking itu dipulangkan karena sebenarnya pemerintah Beijing tidak pernah memberi izin bagi imigran untuk bekerja di Negara tersebut. Para TKW ini telah menjadi korban agen trafficking.
Selain menjadi asisten rumah tangga, para TKW dipaksa menjadi wanita penghibur, pengedar bahkan pengguna narkoba. Bahkan, dari gaji mereka sebesar 4.500-4.900 yuan atau sama dengan Rp. 9 juta justru sebesar 4.000 yuan diambil oleh pihak agen.
Human trafficking diartikan sebagai rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan ataupun menerima atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh. Biasanya, perempuan yang paling rentan mengalami kasus perdagangan manusia.
Meskipun sudah ada payung hukum yang tertuai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilengkapi berbagai protokol seperti protokol PBB, namun di Indonesia persoalan perdagangan orang masih kerap terjadi. Sudah seharusnya negara melindungi warganya, bukan sekedar pada wacana hukum positif belaka.