Langkah yang Ditempuh Buruh Saat Dikenai PHK

Solidaritas.net, Cikarang- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hal lumrah. Di dalam hubungan kerja yang menindas, PHK bisa dipastikan terjadi. Baik atas kehendak pengusaha maupun atas kehendak buruh sendiri.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mendefinisikan PHK sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.

Secara normatif, ada dua jenis PHK, yaitu PHK secara sukarela dan PHK dengan tidak sukarela. PHK sukarela terjadi atas kehendak buruh sendiri. Sedangkan PHK tidak sukarela terjadi atas kehendak pengusaha dengan alasan-alasan tertentu.

Pada jenis PHK yang kedua, biasanya pengusaha melegalkan PHK dengan alasan perusahaan pailit, keuangan menurun, tutup, rugi , buruh melakukan kesalahan berat, dll. Sekalipun tidak rasional dan sulit dibuktikan, pengusaha tetap ngotot untuk mem-PHK buruh.

Akibatnya, yang terbukti justru pengusaha sedang berupaya menyingkirkan buruh-buruh yang berserikat, dianggap kritis, dan ‘pembangkang’. Kenapa? Karena pengusaha tidak menghendaki aktivitas akumulasi modal terganggu.

Oleh karena itu, buruh harus kritis dalam menyikapi keputusan PHK. Beberapa hal yang perlu dilakukan buruh ketika di PHK adalah sebagai berikut:

  1. Berunding. Jika tidak mencapai kesepakatan, PHK dianggap sah setelah ada putusan pengadilan yang bersifat tetap (incraht).
  2. Memeriksa, apakah alasan PHK yang dilakukan oleh pengusaha dibolehkan dalam UU Ketenagakerjaan? Contoh kasus: a) Perubahan kepemilikan, maka pengusaha tidak dapat melakukan PHK, kecuali buruh yang bersangkutan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam pasal 163 UU No 13 Tahun 2003. b) Pengusaha mengklaim rugi, maka harus dibuktikan dengan hasil audit oleh akuntan publik sesuai pasal 164 ayat (2). Persoalannya, Disnaker maupun pengadilan tidak diberikan kewenangan untuk menilai hasil audit keuangan tersebut. Jadi, asal sudah ada hasil audit mengatakan rugi, maka dianggap rugi.
  3. Buruh harus kritis! PHK dengan alasan pengusaha mengalami rugi tidak selalu benar. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa perusahaan tidak mengalami kerugian, seperti misalnya pembelian aset (bangunan, mesin, dll), pengangkatan karyawan, pemberian bonus pada manager, lembur, pengangkatan buruh, dll. Meski demikian, proses PHK ini harus melalui mekanisme perundingan dengan pekerja/buruh maupun serikat pekerja/buruh, sebelum nantinya diajukan untuk mendapatkan penetapan dari PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).
  4. Jika alasan PHK tidak diperbolehkan oleh UU Ketenagakerjaan, namun pengusaha tetap ngotot mem-PHK buruh, maka harus dilaporkan kepada bidang pengawas ketenagakerjaan Disnaker, sebagai pelanggaran ketenagakerjaan. Bukan dilaporkan pada bidang Hubungan Industrial (HI) Disnaker, yang nantinya akan ditangani oleh mediator, disini buruh/serikat buruh sering melakukan kekeliruan.
  5. Biasanya Disnaker mengarahkan penyelesaian melalui bidang hubungan industrial (HI) dengan beragam alasan. Terhadap penyimpangan ini buruh atau serikat buruh dapat melaporkannya ke Ombudsman, Kementerian Dalam Negeri hingga Kementerian Ketenagakerjaan.
  6. Jika nota pemeriksaan yang dikeluarkan oleh bidang pengawas ketenagakerjaan Disnaker tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan, maka dapat digugat melalui PTUN. Ini langkah litigasi yang dapat dilakukan jika tujuan buruh atau serikat buruh adalah benar-benar menolak PHK.
  7. Untuk langkah non litigasi, perlu dilihat kekuatan buruh atau serikat buruh itu sendiri untuk dapat menentukan metode non litigasinya. Jika setelah dianalisa kuat, dapat dilakukan mogok kerja untuk menolak PHK, dibarengi dengan kampanye lokal, nasional hingga internasional

Sebagai catatan, putusan pengadilan tidak diperlukan dalam hal PHK akibat buruh mengundurkan diri, meninggal dunia, mangkir 5 hari berturut-turut atau buruh telah mencapai usia pensiun.

Tinggalkan Balasan