Solidaritas.net, Padang – Tom Iljas, 77 tahun, orang Indonesia yang tinggal di Swedia, berniat untuk berdoa di makam ayahnya yang merupakan korban pembunuhan massal saat tragedi 1965 di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Namun, Dia malah diamankan oleh polisi dan imigrasi dengan tudingan membuat dokumentasi yang dianggap membahayakan keamanan negara.
Tom adalah salah satu mahasiswa tehnik mekanisasi pertanian tahun 1960-an yang dikirim oleh Kabupaten Pesisir Selatan Sumatra Barat ke Swedia. Niat awal hanya untuk melanjutkan sekolah berlanjut menjadi pembuangan bertahun-tahun karena dia kemudian terhalang pulang dan menjadi eksil di Swedia.
Tom yang sudah bertahun-tahun tak pulang kampung, akhirnya mendapat kesempatan langka itu. Dia akhirnya bisa pulang ke Indonesia. Pada 11 Oktober, bersama Yulia Evina Bhara, AK, AM, OP dan AI, dengan membawa kamera foto, Tom pergi ke makam ibunya, almarhum Siti Mawar di pemakaman Kampung Salido, Sumatera Barat.
Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan menuju sebuah lokasi yang diyakini oleh penduduk desa sebagai pemakaman massal tempat ayah Tom Iljas, almarhum Ilyas Raja Bungsu berada.
“Sampai di lokasi yang diduga tempat Ayah Tom Ilyas dikuburkan massal bersama korban lainnya, penduduk yang menemani Tom meminta ijin kepada pemilik tanah yang baru untuk berdoa. Kepala Kampong tidak mengijinkan,” kata Wendra dari LBH Padang, dilansir dari rappler.com.
Di lokasi tersebut tiba-tiba ada kurang lebih 20 orang yang diduga intel memotret dengan kasar seraya mengusir. Tom Iljas bersama rombongan akhirnya memutuskan pulang dan membatalkan ziarah ke makam ayahnya. Namun, 5 KM dari lokasi tiba-tiba polisi berpakaian preman menghadang dan menutup jalan dengan mengggunakan mobil polisi. Awalnya polisi meminta mereka turun dari mobil tetapi mereka bersikeras tidak mau turun.
Polisi mengambil paksa kunci mobil dan mengambil alih setir dan menggeser paksa AM yang sedang di kursi sopir, polisi lainnya turut masuk dari pintu yang berbeda. Selanjutnya mereka dibawa ke Polres Pesisir Selatan untuk diinterogasi.
Selama proses interogasi dan dari dokumen yang tertulis, disebutkan bahwa tidak ada pasal yang dikenakan, namun polisi terus menyatakan bahwa rombongan adalah pembuat film dokumenter di Padang dan dimana-mana tentang kekejaman terhadap PKI. Selama di ruangan interogasi, berganti-ganti polisi memotret mereka dengan kamera berlampu blitz dan mengata-ngatai mereka artis sambil tertawa-tawa kepada Kasat Intel.
Saat interogasi, Tom dan rombongan diminta untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tapi tidak ada satupun yang bersedia. Polisi mengatakan tidak akan melepaskan rombongan jika tidak menandatangani BAP, akhirnya mereka setuju. Setelah itu, mereka digeledah. Tas, laptop, dan mobil Tom diperiksa.
“Ada dua memory card yang diambil. Kartu Tanda Penduduk dan paspor ditahan,” katanya.
Dari gelar perkara bersama komandan militer Pesisir Selatan, polisi tak menemukan delik yang tepat untuk Tom setelah melakukan penggeledahan. Maka atas nama hukum, Tom dilepaskan. Meskipun begitu, Tom tak serta-merta dilepas, kasusnya langsung dilimpahkan ke imigrasi dengan dalih membahayakan keamanan nasional dengan mendokumentasikan aktivitas di lahan kuburan massal.
Menurut LBH, tudingan tersebut dinilai sama sekali tidak berdasar. “Dalam peraturan pemerintah nomor 32 tahun 2015 tentang imigrasi, kalau seandainya dia menggunakan visa kunjungan, maka seharusnya tidak masalah, kata pengacara LBH Padang, Wendra Rona Putra.
Namun, Pihak imigrasi ngotot, menurut mereka aktivitas Tom sebagai warga negara asing dapat dikategorikan menyerang keamanan nasional jika nanti dokumentasi tersebut dipakai untuk menyerang pemerintah Indonesia.
“Mereka kemudian mengancam, kalau seandainya film ini beredar, mereka akan memasukkan Bung Tom ke daftar cekal,” katanya.
Hingga kahirnya pada 15 Oktober, sekitar pukul 15.00, Penyidik, Bapak Jeffry mengatakan bahwa dua rekomendasi untuk Tom Iljas yang telah diberikan ke pimpinan, yaitu menghentikan pemeriksaan dan deportasi.
Tom Iljas ingin ziarah ke makam ayah dan ibunya. Kuburan massal Ayahnya, adalah salah satu kuburan massal yang ada dalam laporan Komnas HAM. Namun niat itu terkubur sudah karena deportasi diikuti oleh daftar cekal, yang memungkinkan Tom tak bisa kembali lagi ke Indonesia.
Tidak sampai di situ, salah seorang rombongan yang mendampingi Tom Iljas, Yulia Evina Bhara mendapatkan intimidasi dengan cara diawasi dan ditanya-tanya tentang aktivitasnya.
“Polanya adalah pola yang sama, pada zaman Orde Baru teror dilakukan dengan bertanya pada tetangga apa aktivitasnya, pekerjaan apa, sudah lama tinggal di sini, bagaimana orangnya. Banyak menggali informasi,” ujarnya, dikutip dari Rappler.
Pihak sedang memperjuangkan pencabutan pencekalan Tom Iljas kepada Kementerian Hukum dan HAM. Menurutnya, jika pencabutan pencekalan ini tidak dilakukan, maka ziarah ke makam orang tua itu adalah untuk yang terakhir kalinya bagi Tom Iljas.
“Jika, keputusan Tangkal/Cekal atas Bung Tom Iljas tidak dicabut oleh Menkum HAM, Maka foto ziarah ini (11/10/2015) adalah ziarah terakhir ke Makam Ibunya Siti Mawar…#CabutCekalTomIljas,” katanya.