Masyarakat Adat Kalteng Dipenjara Karena Protes Perkebunan Sawit

0

Solidaritas.net, Barito Utara (Kalteng) – Kriminalisasi terhadap masyarakat adat kembali terjadi di Kalimantan Tengah. Akibat protes yang mereka lakukan, sebanyak 19 orang warga Desa Kemawen, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara, Kalteng ditahan oleh pihak kepolisian. Meski hanya beberapa bulan, tetapi mereka sangat kecewa. Bukan karena lamanya hukuman penjara, tetapi karena tidak adanya lagi penghargaan terhadap adat istiadat mereka.

protes perusahaan sawit di kalteng
Ritual hinting pali protes perusahaan sawit pada Januari 2015, yang membawa beberapa warga, termasuk Hison mendekam di penjara. Foto: Walhi Kalteng

“Sebetulnya saya sangat kecewa. Keputusan ini tidak menghargai adat istiadat kami. Adat istiadat dilecehkan,” ungkap Hison salah seorang warga yang ditahan, yang divonis hukuman 5 bulan penjara dalam kasus itu, seperti dikutip dari Mongabay.co.id, Sabtu (30/5/2015).

Hukuman itu diputuskan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Muara Teweh, Barito Utara, Senin (25/5/2015). Dia dijerat UU Darurat Pasal 1 Ayat 2, karena membawa mandau saat menjalankan upacara ritual adat pemasangan hinting pali. Sedang 18 warga lainnya telah divonis 4 bulan penjara, bulan lalu, setelah 27 warga dimintai keterangan pada Januari 2015.

Menurut Hison, lahan milik mereka di Desa Kemawen seluas 4.500 ha diserobot PT Berjaya Agro Kalimantan (BAK). Perkebunan sawit itu masuk ke desa mereka sejak 16 Maret 2005. Namun, mereka tak mendapat informasi apapun soal perkebunan sawit tersebut. Hutan adat itu pun habis dibabat untuk pembukaan lahan baru. Mereka sudah melapor ke kepala desa, namun tak digubris, hingga kemudian mereka menghentikan kegiatan PT BAK, Juni 2005.

“Desa Kemawen hanya dijajah pengusaha. Lahan penghidupan masyarakat dijajah dan dirampas. Saya menangis bukan karena dipenjara, saya memikirkan ratusan jiwa masyarakat Desa Kemawen. Kebun karet tak bisa disadap kembali. Saya minta tolong diperhatikan hak kami. Saya akan terus berjuang. Saya tak mempermasalahkan diri saya dalam kasus ini. Tak masalah saya ditahan,” ujar Hison mengungkapkan alasan mengapa mereka sangat geram.

Pasalnya, kehidupan mereka benar-benar tergantung dari hutan itu. Masyarakat terbiasa membuat perahu, mencari rotan, sadap karet, gemur, dammar, dan lain-lain. Masuknya PT BAK ke hutan adat tersebut, membuat tanaman mereka hancur. Tempat sakral pun hilang, seperti pekuburan dan pohon-pohon besar tempat biasa menjalankan ritual keagamaan. Penahanan Hison dan warga lainnya juga bermula dari proses dari salah satu ritual adat.

Pada 10 Januari 2015, ratusan warga Desa Kemawen melakukan aksi penutupan jalan PT BAK, dengan menggelar upacara adat hinting pali. Tujuannya agar ada kesepakatan antara masyarakat dan perusahaan. Selama ritual adat digelar, mereka menginap di kantor PT BAK. Pada 12 Januari 2015, Bupati Barito Utara datang dan berjanji akan berbicara dengan PT BAK. Warga pun akhirnya setuju untuk membuka hinting pali, tapi tetap dengan ritual adat.

Namun, pada 14 Januari 2015, tiba-tiba petugas kepolisian datang dan membubarkan paksa warga yang sedang mempersiapkan ritual adat itu. Tanpa peringatan, polisi menarik Hison dari kerumunan, sehingga terjadi kericuhan. Letusan senapan terdengar 7 kali. Akibat ricuh, banyak warga jadi korban, termasuk juga para ibu dan anak-anak. Bahkan, 2 orang pingsan dan beberapa orang mengalami luka serius, akibat ditarik, dipukuli dan ditodong senjata api.

“Fakta-fakta di persidangan menunjukkan Hison dan warga lain sedang ritual adat. Harusnya hakim bisa lebih menggali mengenai adat dan istiadat masyarakat yang menjadi wilayah hukumnya,” kata Manager Advokasi dan Kampanye WALHI Kalteng, Aryo Nugroho pula.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *