Arti Anak Semua Bangsa Bagi Seorang Buruh Seperti Aku

0

Oleh: Eko Ari Wibowo

Perjalanan Minke Mengenal Bangsanya Sendiri.

anak semua bangsaSebelumnya aku sudah menceritakan mengenai kesan-kesanku membaca Bumi Manusia, buku pertama dari Tetralogi Pulau Buruh karya Pramoedya Ananta Toer. Selesai membacanya, aku penasaran dengan kelanjutan kisahnya, maka aku langsung membaca Anak Semua Bangsa. Dalam lima hari buku ini habis kubaca, masih meminjam dari Danial Indrakusuma, pengajar ekonomi politik FSPMI waktu itu tahun 2012.

Anak Semua Bangsa, buku kedua dari Tetralogi Pulau Buru ini menceritakan babak baru dari seorang Minke setelah istrinya dirampas oleh Kolonial, Eropa yang dia kagumi akan ilmu pengetahuannya. Annelies, istri Minke, semakin patah hati dan lemah karena berpisah dengan orang-orang yang dia cintai, hingga akhirnya meninggal saking sedihnya. Minke masih tinggal bersama mertuanya, Nyi Ontosoroh. Namun, Ia tak mau hidup dalam bayang-bayang Nyi Ontosoroh. Minke pun melanjutkan pendidikannya ke Batavia untuk menjadi seorang dokter.

Namun selalu ada masalah. Semua berasal daripada upaya perampasan hasil jerih payah Nyai Ontosoroh oleh isteri sah almarhum suaminya yang tinggal di Belanda. Mereka harus mempertahankan haknya dengan berbagai upaya. Kekayaan Herman Mellema adalah hak Nyai Ontosoroh yang bekerja keras menjalankan perusahaan selama bertahun-tahun saat suaminya hanya sibuk mabuk-mabukan dan menghabiskan uang di tempat pelacuran sampai mati.

Ini adalah titik balik dalam kisah hidup Minke, kekagumannya terhadap Eropa dengan realita yang dialami ternyata berbeda.

“Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi : yang kolonial, dia selalu iblis. (Nyai Ontosoroh, 83)

Pertemuannya dengan angkatan muda dari Tiongkok, yaitu Khouw Ah Soe membuat semangat kaum mudanya tergugah. Banyak sindiran dari sahabat barunya tentang tantangan untuk mengenal bangsanya sendiri. Dan kenyataannya, memang Minke tidak mengenal Bangsanya sendiri. Setelah pertemuannya dengan keluarga petani, Trunodongso dan seorang Surati, cukup menyadarkan Minke kalau dia tidak mengenal bangsanya sendiri.

Perjalanan untuk mengenal bangsanya memang tak mudah, dia dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan pahit, Bangsanya yang kerdil yang bangga menghamba kepada bangsa asing di tanah airnya sendiri. Dan walaupun pada dasarnya manusia diciptakan sama dan setara, tapi manusia itu sendiri yang membuat sekat dan batasan, membatasi diri, menghamba terhadap sesama manusia.

Orang-orang terdekat Minke selalu mendorong agar dia menulis dalam bahasa Melayu, agar rakyat pribumi mengenal dan mengetahui keadaan Negerinya yang sedang dijajah Kolonial.

“Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. (Jean Marais, 55)

Di sini awal mula Minke berseru dengan tulisan, pendirian koran pun dimulai, sebagai babak awal pergerakan Nasional, yang kelak di buku Jejak Langkah dilanjutkan dengan Minke berseru-seru kepada rakyat agar berorganisasi.

*) Penulis adalah buruh yang bekerja di salah satu pabrik rubber component di kawasan Jababeka 1, Cikarang, Jawa Barat.

Baca juga:

Arti Bumi Manusia bagi Seorang Buruh Seperti Aku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *